Praktik
berburu kepala adalah salah satu bentuk komplek perilaku sosial dan sudah
memancing munculnya beragam penjelasan dari berbagai penulis, baik dari
kalangan “penjelajah” maupun kalangan akademisi.
Bagi suku Dayak Ngaju di Kalimantan
Tengah, tradisi mengayau untuk kepentingan upacara Tiwah,
yaitu upacara sakral terbesar suku Dayak Ngaju untuk mengantarkan jiwa atau roh
manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh (Riwut, 2003 :
203). Menurut Lebar (1972 : 171), dikalangan masyarakat Kenyah, perburuan
kepala penting dalam hubungannya dengan Mamat, yaitu pesta pemotongan kepala,
yang mengakhiri masa perkabungan dan menyertai upacara inisiasi untuk memasuki
sistem status bertingkat, Suhan, untuk para prajurit perang. Pemburu-pemburu
kepala yang berhasil berhak memakai gigi macan kumbang di telinganya, hiasan kepala
dari bulu burung enggang, dan sebuah tato dengan desain
khusus..Serangan-serangan para pemburu kepala dilakukan oleh kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari sepuluh hingga dua puluh orang laki-laki yang bergerak
secara diam-diam dan tiba-tiba. Mereka sangat memperhatikan pertanda-pertanda,
khususnya burung-burung. Setelah digunakan dalam upacara-upacara Mamad,
kepala-kepala itu digantung di beranda rumah panjang, berhadapan dengan
ruang-ruang tengah yang menjadi tempat tinggal ketua rumah panjang. Di masa
lalu Suku Dayak Kenyah dilaporkan sebagai pemburu kepala yang paling terkenal
di Kalimantan. Seperti halnya suku Dayak Kenyah, suku Dayak Iban juga melakukan
upacara perburuan kepala yang disebut Gawai. Upacara ini tidak hanya bersifat
religius, tetapi juga melibatkan pesta besar-besaran dengan minum-minuman dan
bersenang-senang (Lebar, 1972 : 184).
Miller yang
seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121),
menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan
supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi
orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang
paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk
menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah
dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk
menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat.
Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan
diperlukan sebuah tengkorak yang baru. Sementara itu Mc Kinley menggambarkan
ritual perburuan kepala itu sebagai sebuah proses transisi, dalam mana
orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi sahabat dengan cara memadukan
mereka ke dalam dunia keseharian.
Mungkin ada
sebuah pertanyaan, dalam tradisi Ngayau tersebut mengapa harus kepala dan bukan
bagian-bagian tubuh yang lain yang diambil. Mc Kinley berpendapat (1976 :
124), kepala dipilih sebagai simbol yang pas untuk ritual-ritual ini karena
kepala mengandung unsur wajah, yang dengan cara serupa dengan nilai sosial
tentang nama-nama personal, merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri
sosial (social personhood). Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut
paling manusiawi milik si musuh dan karenanya menjadi atribut yang harus
diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.
Dalam
kajiannya tentang suku Dayak Iban, Freeman mengatakan bahwa berburu kepala
semata simbolik berkaitan dengan kesuburan. Paralel-paralel antara kepala
manusia dan kesuburan merupakan sesuatu yang sentral dalam pembahasan tentang
praktik berburu kepala. Freeman mengatakan (1979 : 234), puncak dari
alegori luar biasa yang menjadi hal yang sentral dalam upacara perburuan kepala
yang dilakukan oleh orang-orang Iban yang ketika sudah disenandungkan oleh
dukun-dukun pembaca mantra, dilakukan oleh calon-calon pemburu kepala, adalah
sebuah ritual yang dikenal dengan nama Ngelampang yang secara harfiah berarti
mencincang atau memotong menjadi bagian-bagian kecil. Di dalam bagian alegori
ini dipaparkan sebuah deskripsi grafis mengenai ritual membelah kepala tiruan
atau antu pala oleh seorang Lang Singalang Burong yaitu dewa perang suku Iban.
Lang melakukan ritual ini (sesuatu yang melambangkan pemenggalan kepala musuh
yang sesungguhnya) dengan satu tebasan pedang (mandau) yang dilakukannya dengan
sangat cepat, dan dari kepala yang dibelahnya itu mengalir benih-benih yang
bila ditaurkan akan timbul menjadi sesosok tubuh manusia.
Tidak semua
suku Dayak di Kalimantan menerapkan Tradisi Ngayau. Seperti halnya Suku Dayak
Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka tidak ada istilah Ngayau,
namun berdasarkan cerita para tetuha adat mereka, ketika terjadi perang waktu
dulu para ksatria-ksatria Dayak Maanyan dan Dayak Meratus pada saat berperang
kepala pimpinan musuh yang dijadikan target sasaran mereka. Apabila kepala
pimpinannya berhasil mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera bertekuk
lutut. Kepala pimpinan musuh tersebut bukan sebagai pelengkap ritual-ritual
adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban dan Ngaju, kepala
tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun suku Dayak Meratus dan
Maanyan tidak menerapkan tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun mereka tetap
berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting yaitu kepala bagian yang
paling atas (tinggi) di tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.
Perjanjian
Tumbang Anoi
Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam
kehidupan komunitas Dayak adalah semasa pemerintahan kolonial Belanda
berlangsung yaitu ketika pada tahun 1874 Damang Batu (Kepala Suku Dayak
Kahayan) mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan Musyawarah Damai
Tumbang Anoi. Musyawarah tersebut dikenal dengan Perjanjian Tumbang Anoi. Dalam
musyawarah yang konon berlangsung berbulan-bulan lamanya itu, masyarakat Dayak
di seluruh Kalimantan mencapai kesepakatan untuk menghindari dan menghilangkan
tradisi mengayau. Karena dianggap telah menimbulkan perselisihan di antara suku
Dayak. Akhirnya, dalam musyawarah tersebut segala perselisihan dikubur dan
pelakunya didenda sesuai dengan hukum adat Dayak.
Meskipun hingga kini
tidak ada satupun analisis yang dapat menjelaskan secara pasti dan tepat makna
yang tersembunyi dari tradisi Ngayau tersebut karena ritual ini sedemikian
kompleks dan sedemikian misteriusnya, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
tradisi Ngayau sangat penting bagi penggambaran citra kelompok Dayak yang
merupakan salah satu simbol suatu identitas kesukuan. Pemotongan kepala/ngayau
kembali muncul ketika terjadi kerusuhan antar-etnis melanda Kalimantan Barat
dan Kalimantan Tengah beberapa tahun yang lalu.
No comments:
Post a Comment